BEST PROFIT - Tepat pada 1 Januari 2015 lalu, pemerintah resmi mencabut subsidi premium. Sejak saat itu, harga jual premium sepenuhnya bergantung pada harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Tak ada lagi uang yang digelontorkan pemerintah untuk membayar subsidi yang kerap tak tepat sasaran.
Tetapi, tak banyak ribut-ribut di hari subsidi dicabut. Sebab waktu itu, harga jual premium di SPBU malah turun. Pada Desember 2014, premium dibanderol Rp8.500, tetapi tepat 1 Januari 2015 itu, harganya turun menjadi Rp7.600.
Tentu saja bukan pencabutan subsidi yang membuat harga turun. Pemerintah mengambil aksi itu di momen yang tepat, ketika harga minyak mentah anjlok, dari $60,6 per barel pada Desember 2014 menjadi $47,5 per barel pada Januari 2015.
Pada 31 Desember 2014, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dalam PP anyar itu, pemerintah membagi BBM dalam tiga kategori: BBM Tertentu, BBM Khusus, BBM Umum.
Solar dan minyak tanah (kerosin) tergolong dalam BBM Tertentu. Dua jenis BBM ini masih mendapat subsidi senilai Rp500 per liter dari pemerintah. Premium untuk wilayah di luar Jawa dan Bali masuk ke dalam BBM Khusus. Sedangkan premium untuk Jawa dan Bali serta bahan bakar jenis lain, seperti Pertamax, masuk kategori BBM umum.
Meski subsidi sudah dicabut dari premium atau BBM RON 88, penentuan harga tak sepenuhnya diserahkan ke pasar dan PT Pertamina.
Dalam Pasal 15 PP No.191/2014 itu, dijelaskan harga BBM Tertentu dan BBM Khusus ditentukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara harga BBM Umum ditetapkan oleh Pertamina dan dilaporkan kepada menteri.
Terkhusus untuk premium yang didistribusikan di Jawa dan Bali, Pertamina lah yang menentukan harganya. Namun, di luar wilayah penugasan itu, harga premium ditentukan pemerintah.
Lalu, bagaimana pemerintah dan Pertamina menghitung dan menentukan harga jual BBM? Benarkah ia naik-turun mengikuti harga pasar?
“Ada dua hal utama yang membentuk harga jual BBM, harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar,” ujar Adiatma Sardjito, juru bicara PT Pertamina. BESTPROFIT
Jadi, kalau dalam waktu bersamaan harga minyak dunia naik dan rupiah melemah, maka harga jual BBM akan melonjak. Atau, jika harga minyak dunia turun tetapi rupiah melemah, harga jual BBM pun sulit untuk ikut turun. Pemerintah meninjau harga jual BBM setiap tiga bulan.
Untuk menghitung harga keekonomian BBM, pemerintah sudah menetapkan rumusannya. Pada dasarnya, rumus untuk tiga kategori BBM itu serupa, tetapi tak persis sama. Intinya, harga keekonomian BBM merupakan gabungan antara harga dasar, margin, dan pajak. BPH Migas menampilkan ketiga rumus itu di laman resminya.
Harga dasar dibentuk oleh beberapa komponen, yakni; harga indeks pasar (HIP), biaya alpha yang terdiri dari biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan biaya perolehan kilang dalam negeri atau impor.
Untuk menentukan HIP, sejak dulu sampai saat ini, Indonesia selalu menggunakan harga Mean of Platt Singapore (MoPS). Naik-turun harga minyak akan memengaruhi harga MoPS, tetapi waktunya bisa saja tidak bersamaan, tergantung stok yang dimiliki.
Nah, berhubung harga MoPS dengan kadar oktan paling rendah adalah Mogas 92, maka pemerintah menggunakan koefisien 98,42 persen untuk menentukan HIP RON 88 alias premium. Jadi, HIP Premium per liter adalah 98,42 persen dari MoPS Mogas 92 dikali dengan nilai tukar dolar AS ke rupiah—menggunakan kurs tengah Bank Indonesia—dibagi 159. Pembagian tersebut dikarenakan satuan harga MoPS adalah barel, dan satu barel terdiri 159 liter.
HIP kemudian ditambahkan komponen alpha, terdiri biaya distribusi, margin, biaya penyimpanan, dan biaya perolehan kilang. Pemerintah lah yang menentukan besaran komponen alpha ini. Menurut BPH migas, besarannya bisa mencapai 20 persen dari HIP. Jumlah HIP dengan komponen alpha lah yang disebut harga dasar.
Harga dasar itu masih harus ditambahkan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen dari harga dasar dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen. Untuk BBM khusus, pemerintah menambahkan biaya distribusi sebesar 2 persen dari harga dasar. Sedangkan untuk BBM umum seperti Pertalite dan Pertamax, Pertamina boleh menambahkan margin keuntungan 5-10 persen.
Sayangnya, untuk produk RON 90 atau Pertalite, tak jelas perhitungannya.
Setyorini Tri Hutami, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi BPH Migas, tak bisa menjawab ketika ditanya bagaimana perhitungan harga indeks pasar untuk RON 90. Begitu juga Adiatma Sardjito, juru bicara Pertamina. Ia tak menjawab ketika Tirto menanyakan kejelasan perhitungan HIP Pertalite.
Sejak Pertalite diluncurkan, Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri menilai prinsip dasar Pertalite tidak transparan. Tim yang dipimpin Faisal merekomendasikan adanya transparansi dalam proses penentuan harga yang dapat diukur dengan benchmark.
Sementara Pertalite, sama seperti premium, adalah produk yang tidak lagi dijual di pasar internasional. Tak ada referensi harga untuk premium maupun Pertalite.
Di laman jurnal pribadinya pada 2105, Faisal banyak sekali menulis soal petaka migas di Indonesia. Faisal mengizinkan Tirto mengutip pelbagai pandangannya dalam blog itu.
Harga premium yang sejatinya mengikuti perkembangan pasar pun tak benar-benar mengikuti. Faisal sempat memprotes ini ketika pemerintah tidak menaikkan harga jual BBM ketika harga minyak dunia naik dari $50 menjadi sekitar $61 per barel pada April sampai Juni 2015. BBM juga tak turun ketika harga minyak dunia anjlok $40 per barel pada Desember 2015 hingga Maret 2016.
Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM Widhyawan Prawiraatmadja ikut menanggapi. Ia menyatakan penetapan harga BBM tidak sepenuhnya berlandaskan pada mekanisme harga pasar yang berubah sewaktu-waktu.
"Kalau kami benar-benar mengikuti harga pasar, di Papua, harga BBM bisa Rp20.000, nah ini, kan, tidak," ujarnya seperti dikutip Antara pada Maret 2015.
Widhyawan mungkin benar. Sebab, biaya distribusi ke Papua tentu mahal. Tetapi, dengan kontrol harga dari pemerintah yang tak sesuai harga pasar, penghitungan harga BBM yang sudah tak disubsidi itu pun menjadi tak punya rumus baku dan acuan pasti.
Pihak Kementerian ESDM, lanjutnya, sedang menyusun strategi agar selisih harga dapat ditutup di kemudian hari jika harga minyak dunia turun. "Misalnya, harganya turun Rp1.000, tapi kita hanya menurunkan Rp500 agar sisanya bisa digunakan untuk menutup selisih sebelumnya," ujarnya.
Per 28 Maret 2015, harga premium di luar Jawa-Bali menjadi Rp7.300 dari sebelumnya Rp6.800 per liter pada 1 Maret 2015. Harga Rp7.300 itu bertahan hingga Mei. Padahal, jika mengikuti nilai tukar rupiah dan harga minyak waktu itu, harga premium seharusnya Rp8.000. PT BESTPROFIT
“Di masa lalu, jika harga yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari harga pasar, selisihnya ditutup oleh subsidi yang dibebankan pada APBN. Karena tidak ada lagi alokasi subsidi untuk bensin premium di APBN 2015, maka selisihnya ditanggung Pertamina,” papar Faisal.
Ketika harga minyak turun pada awal 2016, harga jual premium ajek. Menurut Faisal, hal itu sebagai upaya 'bayar utang' pemerintah ke Pertamina.
“Praktik seperti ini sangat tidak sehat. Kebijakan fiskal jadi tidak kredibel. Ibaratnya, pemerintah membohongi diri sendiri. Sangat tidak sehat,” imbuhnya.
Memprediksi Harga Premium (kalau Masih Ada Kelak)
Dengan rumus yang telah ditetapkan pemerintah, tim riset Tirto mencoba memprediksi harga premium di masa mendatang. Data prediksi minyak mentah diambil dari ramalan Bank Dunia, sementara data nilai tukar dihitung dengan forecast AR(1).
Tahun depan, harga rata-rata minyak mentah, menurut perkiraan Bank Dunia, sekitar $60. Nilai tukar dolar terhadap rupiah pada tahun itu diprediksi Rp13.500. Dengan menggunakan rumus yang biasa digunakan pemerintah, maka harga keekonomian premium tahun depan berkisar Rp8.045,7. Sedangkan harga Pertamax RON 92 diprediksi sekitar Rp9.222,7.
Pada 2019, harga minyak dunia diprediksi naik ke angka $61,5. Namun, rupiah diperkirakan menguat sehingga nilai tukar dolar ke rupiah sekitar Rp13.366. Jika premium masih ada pada tahun itu, harganya diperkirakan sekitar Rp8.122,7 dan Pertamax pada kisaran Rp9.323,1.
Pada 2020, harga minyak diprediksi kembali naik menjadi $62,9. Rupiah pun tampak melemah, menyentuh Rp13.649. Dengan kombinasi seperti ini, harga Premium berada pada kisaran Rp8.413,9 dan Pertamax menyentuh Rp9.702,7. PT BEST PROFIT
Layaknya sebuah prediksi, ia bisa benar bisa pula berbeda dengan perhitungan pemerintah dan Pertamina kelak. Ia tergantung pada kapan pemerintah menghitungnya, harga MoPS periode kapan yang digunakan, dan nilai kurs tengah BI yang dipakai.
Seperti kata Faisal, hal paling penting adalah transparansi. Pemerintah dan Pertamina harus terbuka soal hitung-hitungan harga. Masyarakat harus tahu kalau harga minyak bisa naik dan bisa pula turun. Bukan malah ditahan ketika seharusnya turun agar tak naik ketika harga seharusnya naik, atau sebaliknya.