PT BEST PROFIT FUTURES JAMBI - Enam orang menjadi tahanan politik karena menolak rasisme dan militerisme terhadap rakyat Papua. Hidup dalam sel, separuh kemanusiaan mereka tergerus. Sementara memeluk sang kekasih, hanyalah mimpi. PT BESTPROFIT
YUMILDA KACIANA sedang memasak sop kelinci di dapur Asrama Mahasiswa Papua Lanny Jaya, di Depok, Jawa Barat, sebagai obat bagi kawan mereka yang sakit, saat terdengar teriakan Pindar di luar meminta pertolongan. BEST PROFIT
“Tolong… toloong… tolooong…” teriak Pindar, mahasiswa Papua yang sedang menelepon via ponsel di depan asrama. BESTPROFIT
Teriakan Pindar terdengar hingga ke dapur. Yumilda atau biasa disapa Chika, kaget. Ia dan yang lainnya berlari ke ruang depan asrama untuk melihat. PT BEST PROFIT FUTURES
Dari ruangan depan, Chika mengintip. Rambut Pindar yang gimbal, tampak dijambak oleh orang-orang itu, dan menggiringnya masuk area asrama.
Chika menghitung: 10… 15… 20… 40… ternyata ada 50 orang berpakaian sipil yang mengepung asrama.
Asrama Mahasiswa Papua Lanny Jaya tidaklah besar, hanya petak kecil di tengah-tengah permukiman warga, sehingga puluhan orang pengepung mampu menutup semua sisi.
Hari juga belum terlalu malam saat itu, Jumat 30 Agustus 2019. Azan Isya baru saja selesai, sekitar pukul 19.30 WIB.
Dano Anes Tabuni dan sejumlah rekannya yang sedang duduk-duduk di teras asrama sembari minum kopi, berdiri siaga ketika puluhan orang memaksa memasuki pagar.
“Siapa kalian? Mau apa kalian?” kata Dano menghardik.
Namun, orang-orang itu tak menjawab. Merasakan gelagat tidak baik, Dano dan yang lainnya bergegas masuk ke dalam. Pintu asrama, mereka kunci.
Massa di luar semakin berani, mereka menggedor-gedor pintu yang terkunci. Dano berlari ke dapur. Chika dan yang lainnya tetap bertahan di ruang tengah.
Sekitar 20 orang lantas menerobos masuk dan langsung menodongkan pistol ke kepala Aseir Wenda yang tetap bertahan di ruang depan asrama.
“Tiarap, tiarap, semua tiarap,” teriak orang-orang itu.
“Kalian siapa? Kalian mau apa?” kata penghuni asrama, mencoba melawan.
“Tiarap semua, tiaraaaappp…” jawab mereka.
Karena panik, Chika dan sejumlah penghuni berhamburan berlari ke arah dapur asrama. Mereka justru berpapasan dengan Dano yang menyeruak dari arah dapur sembari membawa cobek.
“Mau apa kalian hah!” teriak lelaki berbadan tegap dan berewokan itu, sembari mau melemparkan cobek ke arah orang-orang tersebut.
Karena mau dilempar cobek, barulah salah satu dari para penerobos bersuara, menegaskan jati diri mereka, “Sabar bang… tenang bang… tenang… kami polisi.”
Para polisi memerintahkan semua orang sisa di dalam asrama untuk bergabung ke ruang tengah, termasuk Chika. Saat itu, ada 21 orang dalam asrama.
Chika melihat kawan-kawannya sudah tiarap di ruang depan, dikelilingi para polisi berpakaian preman.
“Di sini ada anak kecil, baru 3 tahun, jangan begini kalian,” teriak Chika memperingatkan para polisi.
“Kami mencari Dano Anes Tabuni dan Charles Kossay,” jawab polisi.
Para penghuni asrama mencoba melawan. Terjadi perdebatan panjang antara penghuni dan polisi. Aparat tak mau kalah, mereka meminta Dano Anes Tabuni dan Charles Kossay untuk ikut ke markas.
“Ini ada surat penangkapannya, sah,” kata pemimpin polisi.
Chika mencoba memotret surat penangkapan itu, tapi dilarang, “Tak usah foto-foto!”
Setelahnya, sejumlah polisi meggeledah tiga kamar dalam asrama.
“Mana benderanya? Mana? Bintang Kejora kalian, mana?” teriak polisi kepada seisi penghuni asrama.
Tak ada bendera Bintang Kejora yang didapat. Polisi sudah puas setelah menemukan 2 pelantang suara, 2 kaus, selendang, dan noken bercat merah – putih – biru.
Seusai menggeledah dan mendapatkan Dano serta Charles, para polisi hendak pergi. Tapi, Chika dan lainnya mengadang.
“Kalau ini soal aksi kemarin di istana, kami semua ikut aksi. Jadi, bawa kami semua,” pinta Chika.
“Kami ini satu komando, satu tujuan. Satu ditangkap, berarti kami semua harus ditangkap,” teriak Chika lagi kepada polisi.
Polisi tak menggubris permintaan Chika dan yang lainnya. Mereka bergegas, membawa Dano dan Charles pergi.
Chika masih terbengong-bengong menatap para polisi membawa Dano dan Charles masuk ke mobil dan berlalu.
Perempuan itu bukanlah penghuni asrama. Chika dan sang suami—Dano Anes Tabuni—sengaja datang ke asrama dari rumah kontrakan mereka di Tebet, Jakarta Selatan, untuk menjenguk penghuni yang sakit.
Ketika detik-detik mencekam dalam asrama sudah terlewati, Chika mengingat pesan sang suami sehari sebelumnya, Kamis 29 Agustus.
“Apa pun yang terjadi setelah kita aksi, pokoknya tak usah kau pikir apa-apa. Semua itu konsekuensi yang harus kita terima. Aku tak mendidik kamu menjadi perempuan lemah. Kamu harus lebih kuat dari aku.”
Sehari sebelumnya, Rabu 28 Agustus, Chika dan Dano terlibat aksi massa memprotes rasisme dan militerisme terhadap rakyat Papua.
Chika dan Dano membaur dengan mahasiswa serta rakyat Papua di depan Istana Negara RI. Dalam aksi itu, berkibar bendera Bintang Kejora.
Tidur di trotoar Polda
“DANO DAN CHARLES DITANGKAP, dibawa ke Polda Metro Jaya,” tulis Chika dalam grup WhatsApp bernama “Monyet se-Jakarta”.
Grup WA tersebut berisi mahasiswa Papua di Jakarta, sengaja dibuat untuk memudahkan koordinasi menyikapi aksi rasialis seperti terjadi terhadap kawan-kawan mereka di Surabaya.
Setelah menyebar informasi itu, Chika dan 14 penghuni asrama menyusul Dano dan Charles ke Mapolda Metro jaya.
Setibanya di kantor polisi, Chika diterima oleh Kasubdit Keamanan Negara Ajun Komisaris Besar Dwi Asih.
“Kami mau ketemu Dano dan Charles,” pinta Chika kepada Dwi Asih, namun ditolak.
“Tidak bisa, mereka baru bisa ditemui sesudah satu kali dua puluh empat jam.”
Chika tak mau buang-buang waktu berdebat. Mereka langsung beranjak keluar dan menunggu di trotoar depan Polda Metro Jaya.
Mereka sempat dihampiri seorang polisi berpakaian preman. Polisi itu meminta Chika dan rekan-rekannya untuk pulang. Bahkan, polisi itu mengakui bersedia menanggung biaya taksi untuk Chika Cs pulang.
“Pulang saja, kamu kan cewek, kasihan begini,” kata polisi.
“Yang ditahan itu suami saya. Masak saya pulang sebelum lihat dia,” sanggah Cika.
Tak lama, datang bus kota mendekat ke trotoar. Dari dalamnya, 100-an mahasiswa Papua turun menghampiri Chika.
Mereka datang menyusul Chika seusai mengetahui kabar dari grup WhatsApp ‘Monyet se-Jakarta’ perihal penyerbuan asrama serta penangkapan Dano – Charles.
Ratusan mahasiswa Papua itu tidur di trotoar depan mapolda hingga pukul 05.00 WIB, Jumat. Mereka mendapat kabar, Dano dan Charles tak lagi ada di mapolda, tapi sudah dibawa ke Mako Brimob kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Michael Hilam, anggota Tim Advokasi Papua langsung berangkat ke Mako Brimob, subuh itu juga. Sementara Chika dan mahasiswa Papua tetap bertahan.
Sekitar pukul 1.00 WIB, mereka menggelar aksi di depan mapolda. Mereka meminta agar Dano dan Charles segera dibebaskan.
Kalau tidak, mereka meminta polisi menyediakan satu sel bagi agar semua mahasiswa Papua bisa bersama-sama ditahan.
Aksi massa itu berakhir pada pukul 15.00 WIB. Chika dan rekan-rekannya memutuskan untuk pulang, beristirahat, karena semalaman ada yang tak tidur dan makan.
Namun, tiba-tiba, ada salah satu aparat kepolisian meminta 5 orang perwakilan untuk masuk ke dalam Polda Metro Jaya guna bernegosiasi.
Demonstran menolak. Mereka menegaskan, mau masuk ke dalam mapolda kalau pengacara sudah datang.
Polisi itu balas mengatakan, komandannya meminta 5 perwakilan hanya untuk bernegosiasi. Akhirnya, 5 orang masuk sebagai perwakilan dari mereka yakni Isay Wenda, Ambrosius Mulait, Musa Mabel, Sehi Hillapok, dan Felis dari KontraS.
“Tiba-tiba yang keluar cuma Musa, Falis KontraS, dan Sehi. Sedangkan Isay dan Ambrosius katanya langsung diborgol dan dibawa ke Mako Brimob,” kata Chika kepada saya, pekan lalu
“Apa alasan polisi ketika itu menahan Isay dan Ambrosius?” tanya saya.
“Katanya hanya berdasarkan rekaman CCTV,” jawabnya.
“Apa isi rekaman CCTV itu?” saya kembali mempertegas.
“Enggak tahu, kalau mereka ikut aksi di tanggal 28 Agustus kah. Karena sudah lelah, kurang tidur, ya sudah kami pulang.”
Persamuhan yang sulit
CHIKA DAN DANO baru bisa bertemu untuk kali pertama pada hari Jumat 6 September 2019. Chika membesuk Dano di Rutan Mako Brimob. Namun, persamuhan itu tidaklah mudah.
Sehari sebelumnya, Chika harus lebih dahulu mengurus surat izin membesuk di Polda Metro Jaya. Dalam seminggu, para keluarga tahanan politik Papua hanya diperkenanan dua hari membesuk, Selasa dan Jumat.
“Itu awalnya ketemu kami hanya diperbolehkan masuk, mereka masih dalam ruangan tahanan. Jadi kami hanya bersalaman lewat jeruji besi,” ungkap Chika.
“Tidak bisa lebih dari itu? Memeluk pun tak bisa?” tanya saya.
“Bagaimana mau memeluk, tengah-tengahnya besi,” jawabnya dengan suara terdengar melemah.
“Chika ingat apa yang disampaikan Dano ketika awal bertemu di Mako Brimob?”
“Dia cuma bilang ‘Enggak usah berpikir apa-apa. Aku kan bukan membunuh orang, mencuri dan segala macam’ cuma itu,” jawabnya.
“Bagaimana Chika mendengar Dano berkata seperti itu?”
“Aku bilang ‘tugas ku hanya bisa mendukungmu dari luar, dan waktu besuk aku akan datang untuk membesuk’,” ucapnya.
Chika mengaku merupakan sosok perempuan dengan persona manja. Namun, setelah Dano ditahan, dirinya lebih dewasa dan kuat.
Setelah Dano ditahan, hampir setiap hari telepon genggam miliknya berdering, banyak orang bertanya tentang nasib mereka.
Amos, ayah mertua Chika yang tinggal di Papua, selalu menelepon menanyakan kabar terbaru putranya.
“Bapak selalu menelepon, bertanya kapan keluar? Kapan Dano keluar? Setiap hari bertanya. Sebab, awal Dano ditahan, dibilang hanya untuk 20 hari,” tuturnya.
Suatu ketika, ayah mertua Chika menelepon, bertanya “Apakah Dano ditahan untuk mencegah aksi menggagalkan pelantikan presiden Indonesia?”
“Saya tak bisa memberikan jawaban pasti. Setelah pelantikan presiden pun, Dano tak dibebaskan. Tiap hari saya selalu didesak pertanyan, kapan Dano keluar? Saya sendiri pengin Dano cepat bebas,” kata Chika.
Chika mengakui tak banyak mengetahui kiprah perjuangan Dano. Ia menuturkan, Dano termasuk orang yang tertutup soal perjuangannya untuk Papua.
“Sejak dulu, Dano selalu bilang kepada saya agar fokus kuliah. Soal perjuangan untuk Papua, itu urusan Dano.”
Meski begitu, Chika tak pernah menyesali semua kiprah Dano dalam perjuangan untuk Papua. Pun setelah Dano ditahan, tak sedikit pun penyesalan ada di benaknya.
“Tugas kami sebagai rakyat Papua untuk berjuang demi kebenaran. Apa pun konsekuensinya harus terima. Apa yang mau disesalkan.”
***
Dani Tabuni, Charles Cossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Ketua Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta Ginting dan Wenebita Wasiangge, hingga kekinian masih ditahan di Mako Brimob kelapa Dua, Depok.
Senin (18/11) pekan lalu, Polda Metro Jaya menyerahkan enam tahanan politik Papua tersebut ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, untuk segera disidang.
Pelimpahan itu menuai protes, karena tim kuasa hukum maupun keluarga sebelumnya tak mendapat pemberitahuan secara resmi.
Sementara sidang praperadilan untuk menggugat penangkapan mereka masih berjalan. Dalam sidang perdana dan kedua, pihak Polda Metro Jaya mangkir, sehingga peradilan ditunda.
Sumber : suara.com