Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
PT BESTPROFIT FUTURES JAMBI- Krisis energi dunia membuat harga berbagai komoditas melambung. Diawali dari gas alam, lonjakan harga kemudian diikuti oleh batu bara, minyak bumi, hingga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Ya, harga gas alam memang semakin mahal. Pada Selasa (12/10/2021) pukul 08:12 WIB, harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, Amerika Serikat) naik 0,73% ke US$ 5,38/MMBtu. Sejak akhir 2020 (/year-to-date/), harga komoditas ini melambung 112,05%.
Salah satu dampak kenaikan harga gas alam adalah mahalnya biaya pembangkitan listrik. Di Eropa, Refinitiv mencatat harga pembangkitan dengan gas alam adalah EUR 89,4/MWh pada 5 Oktober 2021. BEST PROFIT
Sementara dengan batu bara jauh lebih murah yaitu EUR 58,06/MWh. Jadi tidak heran batu bara kini menjadi pilihan pengganti gas alam.
Selain batu bara, minyak bumi juga menjadi alternatif pengganti gas alam sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Ini membuat harga minyak bumi melesat.
Pada pukul 08:19 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 83,4/barel sementara light sweet US$ 80,26/barel. Secara year-to-date, masing-masing melesat 60,93% dan 65,27%. BESTPROFIT
Indonesia adalah negara net-importir minyak. Produksi dalam negeri belum bisa mencukupi permintaan, sehingga selisihnya harus didatangkan dari luar negeri.
Tahun lalu, nilai impor minyak Indonesia adalah US$ 3,39 miliar. Turun 40,55% dibandingkan 2019, imbas pengetatan mobilitas masyarakat demi meredam laju pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Namun secara umum impor minyak mentah Indonesia dalam tren menurun. Rata-rata nilai impor sepanjang 2016-2020 adalah US$ 6,41 miliar. Berkurang 42,43% dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya. PT BESTPROFIT FUTURES
BPFSalah satu dampak kenaikan harga minyak adalah perubahan anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama Januari-Agustus 2021, realisasi belanja subsidi energi adalah Rp 84,1 triliun, melonjak 37,31% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
"Realisasi belanja subsidi energi mencapai 76,01% dari pagu APBN 2021 yang utamanya bersumber dari subsidi BBM dan subsidi LPG Tabung 3 Kg yang mencapai Rp 50,19 triliun (88,18% dari pagu), atau mengalami peningkatan 76,39% (yoy).
Peningkatan realisasi subsidi BBM dan subsidi LPG Tabung 3 Kg utamanya dipengaruhi kenaikan ICP yang rata-rata naik sebesar 60,09% (yoy) selama periode Januari-Agustus 2021 dan kenaikan volume LPG sebesar 4,98% (yoy) selama Januari-Juli 2021," sebut dokumen APBN Kita edisi September 2021.
Namun, APBN sudah berubah. Reformasi subsidi pada 2015 membuahkan hasil, kini anggaran subsidi tidak lagi menjadi momok bagi pelaksanaan APBN.
Sepanjang 2016-2020, rata-rata subsidi energi adalah Ro 118,55 triliun per tahun. Jauh menurun dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya yaitu Rp 266,59 triliun.
Dulu, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM demi menyelamatkan APBN yang 'berdarah-darah' akibat pembengkakan anggaran subsidi saat harga minyak dunia naik. Kenaikan harga BBM sangat sensitif, membuat rakyat murka karena harga berbagai barang dan jasa dipastikan naik.
Namun berkat reformasi subsidi BBM pada 2015, masalah itu tidak lagi ditemui. BBM jenis Premium, yang disubsidi negara, jumlahnya semakin berkurang bahkan nyaris punah. Sementara subsidi BBM jenis Solar (diesel) diubah dari sistem kuota menjadi harga yang membuat meringankan beban anggaran.
Oleh karena itu, kenaikan harga minyak tidak lagi menjadi 'mimpi buruk' buat APBN. Malah sekarang kenaikan harga minyak membawa manfaat, bukan lagi mudarat.
Dalam simulasi sensitivitas APBN terhadap perubahan indikator ekonomi makro, kenaikan harga minyak justru menguntungkan. Setiap kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 1/barel, belanja negara memang bertambah Rp 3,5 triliun. Akan tetapi penerimaan negara bertambah lebih banyak yaitu Rp 4,4 triliun baik dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan demikian, net surplus dari kenaikan harga minyak adalah Rp 0,9 triliun.
Pada September 2021, rata-rata ICP ada di US$ 72,7/barel, tertinggi sejak Oktober 2018. Sepanjang Januari-September, rata-rata ICP adalah US$ 65,21/barel, melonjak 63,51% dibandingkan rerata sembilan bulan pertama 2020.
Asumsi ICP dalam APBN 2021 adalah US$ 45/barel. Jadi realisasi Januari-September sudah ada kenaikan US$ 20,21 dari asumsi tersebut.
Secara ceteris paribus, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 akan membuat APBN 'untung' Rp 0,9 triliun. So, kalau harga naik US$ 20,21 dari asumsi, maka APBN 2021 mendapat 'berkah' Rp 18,19 triliun.
Sumber :Jakarta, CNBC Indonesia
No comments:
Post a Comment