Foto: Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri. (CNBC Indonesia/Efrem Siregar)
Menurutnya, fenomena keperkasaan dolar AS atau 'strong dollar' dapat menimbulkan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan di Tanah Air yang utangnya menggunakan mata uang Negeri Paman Sam tersebut. PT BESTPROFIT
BEST PROFITMantan menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut mengungkapkan fenomena strong dollar dipicu oleh tiga hal. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi AS yang slowdown masih lebih baik jika dibandingkan Eropa.
"Orang akan selalu melihat relative growth, kalau growth suatu negara relatif lebih baik dari negara lain, investor akan prefer taruh (aset) di situ dibandingkan di negara lain. Itu yang bikin nilai tukarnya (dolar AS) masih akan kuat," ujar Chatib dalam dialog bersama CNBC Indonesia.
Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik. BESTPROFIT
Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.
"Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," ungkap Chatib.
Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun. PT BESTPROFIT FUTURES
BPF"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.
Chatib menggarisbawahi sebagian besar perusahaan asing di Indonesia memiliki orientasi bisnis ke pasar domestik. Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.
Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. "Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun," jelasnya.
"Jadi penguatan dolar akan menimbulkan efek balance sheet, efek neraca, dimana perusahaan kontraktif," tegas Chatib.
Selang beberapa minggu, di akhir Oktober, 'ramalan' Chatib menjadi nyata. Investor berhamburan keluar dari pasar Indonesia dan eksportir berupaya mengamankan cadangan dolar AS di luar negeri yang memudahkan mereka untuk terus beroperasi ketika membutuhkan valas.
Yang terjadi di negeri ini adalah fenomena kelangkaan dolar Amerika Serikat di pasar yang membuat pelemahan rupiah. Mata uang Garuda yang melemah tersebut mulai menekan keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Mereka umumnya yang memiliki banyak utang dalam bentuk dolar AS sehingga pelemahan rupiah membuat biaya bayar atau restrukturisasi pinjaman semakin mahal.
Terbaru adalah PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) yang rating utang jangka panjangnya dipangkas oleh PT Fitch Ratings Indonesia, menjadi CC dari sebelumnya di level B- pada pekan lalu. Peringkat CC menunjukkan adanya potensi risiko KIJA gagal bayar utang.
Downgrade peringkat utang itu juga mengenai obligasi senior tanpa jaminan senilai US$300 juta yang baru akan jatuh tempo pada 5 Oktober 2023. Rating obligasi yang kini menjadi CC dari B- ini dijamin oleh KIJA dan diterbitkan oleh anak usahanya Jababeka International BV.
Menurut Fitch, penurunan peringkat mencerminkan adanya peningkatan ketidakpastian tentang kemampuan KIJA untuk mengatasi pembayaran obligasi yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan.
Padahal, pada awal bulan ini Jababeka sudah mendapat kucuran utang dolar AS dari Bank Mandiri senilai US$100 juta. Utang baru ini jatuh tempo lima tahun dengan cicilan setiap enam bulan sekali. Manajemen sudah mengakui, tujuan utang baru itu diantaranya untuk membayar utang jatuh tempo, termasuk obligasi US$300 juta yang harus lunas Oktober 2023.
Ramalan Resesi
Selain ramalan terkait dengan efek strong dollar untuk korporasi, Chatib juga menyampaikan pandangannya soal resesi. Indonesia diyakini dapat terhindar dari resesi ekonomi yang saat ini menghantui negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris dan Eropa.
Chatib mengungkapkan dirinya tidak melihat risiko resesi bagi Indonesia tahun depan.
"Tidak sampai resesi lah," tegas Chatib. Meskipun, ekonomi Indonesia akan terdampak dari sisi ekspor. Khususnya ketika harga komoditas mengalami penurunan harga dan permintaan.
Indikasinya sudah terlihat, harga minyak dunia, minyak kelapa sawit, nikel dan lainnya sudah turun. Sementara itu, batu bara masih stabil karena permintaan Eropa naik drastis.
Dengan demikian, Chatib meyakini ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh sedikit di bawah 5%. "Tahun ini kita bisa tumbuh di 5,2%, tahun depan mungkin sekitar 4%," ujarnya.
Dampak guncangan global terhadap ekspor Indonesia, lanjutnya, tidak akan besar. Pasalnya, kontribusi ekspor Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang 25%, kecil dibandingkan dengan Singapura yang memiliki share ekspor terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 200%.
Alhasil, ekonomi Indonesia hanya akan mengalami perlambatan.
"Ini gara-gara share ekspor ke GDP cuma 25%, ya efeknya 25%. Itu yang menyebabkan dampaknya slow down, tapi tidak resesi. Makanya somehow, kita butuh domestic demand kalau ekonomi global kena," ungkapnya Chatib. Jakarta, CNBC Indonesia