BEST PROFIT - Muda, progresif, dan berbahaya, begitulah gambaran aktivis prodemokrasi yang berjuang meruntuhkan kediktatoran Orde Baru, sehingga gerbang menuju era reformasi terbuka.
Mereka rata-rata masih berusia belia, awal 20-an tahun dan berstatus mahasiswa maupun mahasiswi. Sembari melawan rasa takut, mereka mendobrak tabu bahwa Presiden Soeharto tak bisa diturunkan.
Teriakan mereka bergema ke seluruh penjuru Tanah Air, meski nyawanya sendiri sebagai taruhan. Selain ada yang meninggal ketika melakukan aksi, tak sedikit pula hilang diculik.
Sebanyak 13 aktivis reformasi 98 yang hilang diculik, dan hingga kekinian belum ditemukan. Salah satu aktivis yang diculik adalah mahasiswa Universitas Slamet Riyadi Surakarta bernama Suyat.
Suyat, hilang pada 13 Februari 1998. Ia terakhir terlihat di Solo, Jawa Tengah.
Adalah Lilik Hastuti Setyowatiningsih, seorang perempuan yang aktif menjadi aktivis Prodemokrasi pada era 1990-an, menceritakan sejumput kisah kenang-kenangannya dengan Suyat. Berikut kisahnya. BESTPROFIT
KETIKA melakoni fase perjuangan, aku tak lama bersama Suyat. Tapi, kenangan tentang dirinya sangat melekat.
Suatu malam, bersama seorang kawan, aku bertandang ke kampus Suyat, FISIP Unisri Surakarta. Kala itu, kami ingin mengajak Suyat mengikuti aksi massa.
Kami dan Suyat lama berbincang di depan sebuah kelas kampus. Saat itu, Suyat tampak masih ragu dan enggan mengikuti demonstrasi.
Suyat adalah persona pemalu dan pendiam. Ia anak bontot dari 5 saudara. Bapak dan ibunya adalah pedagang taoge dan tempe.
Dia adalah satu-satunya anak dalam keluarga, bahkan di dusunnya, yang bisa berkuliah. Tentu harapan besar bertumpu di pundaknya, untuk mengubah nasib keluarga menjadi lebih baik.
Malam itu, Suyat tak menjawab ajakan kami untuk ikut aksi massa. Tapi esok paginya, Suyat ada dalam barisan aksi di depan bundaran Universitas Negeri Sebelas Maret, sembari tersenyum cerah kepada kami. PT BESTPROFIT
Sejak saat itu, Suyat semakin aktif. Dia memilih bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi dan Partai Rakyat Demokratik.
Tentunya, seperti kami dan lainnya, ketika Suyat memilih menjadi kader SMID/PRD, harus bersiap terhadap risiko dan bermacam kesulitan. Ditangkap, digebuki, kuliah putus, atau masa depan serta segala kesenangan hidup menjadi tak jelas.
Tubuh Suyat tergolong tegap. Karenanya, dia kerap menjadi bapor alias barisan pelopor pada setiap aksi. Dia berdiri paling depan dalam setiap aksi, untuk melindungi kawan-kawannya.
Konsekuensinya, Suyat harus siap babak belur digebuk paling duluan oleh polisi atau tentara yang menjaga aksi.
Satu ciri penting pada medio 1990-an adalah, mulai marak aksi-aksi di berbagai sektor rakyat: mahasiswa, buruh, dan petani. Aksi-aksi itu tak melulu mengangkat isu politik, tapi juga ekonomi.
Salah satu taktik SMID dan PRD adalah mendorong aksi-aksi di kampus dan sektor-sektor rakyat. Aksi-aksi massa juga menjadi taktik untuk konsolidasi organisasi.
Sebab, fase tersulit saat itu adalah mendobrak tembok ketakutan. Melalui aksi-aksi massa secara reguler, kami ingin setiap orang menjadi melek dan berani.
Karena situasi saat itu memang hanya memberi dua pilihan: diam tertindas atau bangkit melawan.
Tanggal 7 Desember 1995, Suyat untuk kali pertama mengikuti aksi massa di luar kota. Itu juga aksinya langsung berisiko besar, yakni melompati pagar kedutaan Belanda.
Kala itu, aksi melompati pagar kantor Kedubes Belanda dilakoni oleh kader-kader PRD dan pemuda-pemuda progresif Timor Leste untuk menuntut referendum.
Tentu saja, aksi itu dibubarkan aparat. Massa aksi juga dikepung ratusan preman dan tentara.
Semua babak belur digebuk dan dilempar batu. Nyaris semua kepala bocor. Suyat salah satunya.
Setelah babak belur dipukuli preman dan aparat, menyerahkah Suyat? Ternyata tidak.
Beberapa hari sepulang dari Jakarta, Suyat ikut aksi pemogokan buruh PT Sritex, Solo, masih dengan kepala bekas diperban. Saat aksi itu juga, Suyat lagi-lagi digebuk. Kepalanya bonyok lagi.
Itu bukan babak akhir. Tanggal 8 Juli 1996, Suyat menjadi barisan pelopor aksi pemogokan 10 pabrik di Surabaya. Dia ditangkap lagi. Periode itu, jadwal aksi-aksi massa sangat rapat di setiap kota dan setiap bulan.
Ketika ditangkap dan dibawa ke Mapolresta Surabaya, aku dan Suyat duduk di lantai. Kami diberikan bungkusan nasi padang oleh polisi.
Babak belur berdarah dan dengan nyaman menyantap nasi Padang. Sepertinya, itu makanan terenak yang pernah kami makan.
Kami melakoni banyak aksi dan pengorganisasian, hingga meletuslah peristiwa penyerangan kantor DPP PDI yang dikuasai massa pro-Megawati Soekarnoputri.
Sejak itu, perburuan yang paling edan terhadap kami, aktivis PRD, terjadi. Itu ujian sesungguhnya dari segala latihan-latihan militansi.
Tapi Suyat, dia hanya “tiarap“ sebentar. Aku di Surabaya dan Suyat di Solo. Kami baru kembali bertemu di Jakarta pada medio 1997.
Suyat kala itu ditugaskan sebagai pengurus KNPD. Aku jadi buruh buang benang di Jakarta Barat. Koordinasi tertutup. Tak pernah bisa ketemu.
Aku tak pernah lupa pada sebuah hari, ketika aksi massa besar terjadi di Cawang. Kala itu, aksi sudah mengangkat isu politik menggantikan Soeharto, dengan semboyan “Mega – Bintang – Rakyat.“
Aku menyaksikan Suyat jadi koordinator lapangan saat aksi itu. Lama tak bertemu, dalam situasi mencekam, aku menyaksikan Suyat memimpin barisan aksi di Cawang.
Dia memegang pelantang suara, dengan lelehan peluh di kepala tentunya. Kami hanya sempat lambaikan tangan. Aku bangga padanya!
Itulah aku kali terakhir melihat Suyat, sampai beberapa waktu kemudian, kudengar kabar, ia hilang diculik serombongan orang.
Suyat “diambil“ dari rumahnya di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, pada Februari 1998, dan tak pernah kembali lagi!
Suyat, kau masih ingat warung timlo dekat Mertokusuman, dekat sekretariat kita di Solo?
Dulu, malam-malam, pulang dari pabrik Sritex, kita kelaparan. Lalu menyaksikan mbak penjual, menuangkan kuah timlo dari panci besar ke mangkok-mangkok pada meja panjang.
Kita berjalan kaki melewati warung itu. Mencium aroma wangi dan segarnya. Terbayang segar dan hangat disantap saat malam dan hujan.
Kita saling melirik, lalu tertawa. Bersama-sama. Kita sama-sama tak punya uang.
Suyat, beberapa waktu lalu aku ke Solo, melewati kawasan dekat sekretariat kita. Warung itu sudah tidak ada. Tapi aku seperti mencium aroma kuah timlo berpuluh tahun lalu.
Suyat, di mana pun kau berada, semoga kau bahagia ya. Aku sayang dan bangga padamu!
Sumber: suara.com