Foto: Arys Aditya
Jakarta, CNBC Indonesia - Jadi keluarga konglomerat, hidup bahagia, punya harta triliunan di usia masih sangat muda, tanpa perlu kerja lembur bagai kuda, rasanya jadi impian banyak orang.
Namun, ternyata tidak selamanya menjadi bagian keluarga konglomerat kisahnya menyenangkan. Cerita Dato' Sri Tahir menjadi bukti.
Pada tahun 1974, Dato' Sri Tahir bukan siapa-siapa. Dia masih berusia 22 tahun, pengangguran, dan melarat. Bukan juga berasal dari keluarga terpandang. Sehari-hari dia masih ikut menjadi importir bersama orang tuanya. Namun, dia cukup beruntung dibanding orang lain seusianya.
Dia berhasil menikahi Rosy Riady, putri pengusaha besar Indonesia, Mochtar Riady. Saat itu, Mochtar punya bisnis merajalela. Bahkan pada tahun 1975, Mochtar menjadi direktur utama Bank Central Asia (BCA), bank swasta terbesar di Indonesia.
Lalu, apakah menjadi bagian keluarga konglomerat menjadikan Tahir langsung kaya raya? Jawabannya tidak. Mochtar bahkan tidak memberi modal bisnis kepada Tahir di masa awal mulai merintis.
"Salah besar jika ada yang menduga saya diberi setumpuk uang oleh Pak Mochtar untuk modal bisnis. Tak sepeser pun. Tidak kepada Rosy. Sekali ia mengatakan bahwa ia akan melepas saya berjuang sendirian untuk mengarungi kehidupan dengan putrinya, Rosy," kata Tahir dalam Living Sacrifice (2015).
Satu-satunya yang dapat diambil secara gratis dari Mochtar oleh Tahir adalah sikapnya. Dengan melihat mertuanya itu, Tahir sangat percaya kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kerja keras.
Bahkan, Tahir pernah kena semprot karena mencatut nama Mochtar tanpa izin di logo usahanya.
Suatu hari, Tahir membuka showroom furnitur dan menjadi kebanggaan dirinya. Terlintas dibenaknya untuk menyematkan logo perusahaan Mochtar di depan showroom. Alasannya agar orang mengetahui kalau dia adalah bagian keluarga Mochtar. Lantas, diundanglah seluruh keluarga besar Mochtar Riady. Pada waktu grand launching, seluruhnya datang, Mochtar dan istrinya, juga anak-anaknya: Andrew, James, dan Stephen. Tahir merasa sangat bangga sekali.
Namun, tidak lama setelah itu muncul Roy Tirtaji, orang kepercayaan Mochtar. Sayang, bukan pujian yang disampaikan, tetapi malah omelan.
"Maaf Pak Tahir, saya ditugaskan Pak James untuk menyampaikan ini pada Anda. Tolong logo perusahaan Pak Mochtar dicabut. Mereka tak berkenan logo itu dipasang di depan toko Ulferts (milik Tahir). [...] Mereka tidak suka Pak Tahir memasang logo ini, kata Roy dikutip dari Living Sacrifice (2015).
Bagi Tahir, ucapan itu ibarat petir di siang bolong. Rasa malu, sedih, dan terhina campur aduk di hati Tahir. Dia tidak membayangkan kena omel mertuanya.
Sejak kejadian itu, Tahir semakin bekerja keras dan tidak bergantung pada orang lain, meskipun itu orang tua sendiri. Memang Tahir juga mengakui ada dana dari Mochtar, tetapi itu sifatnya pinjaman bukan meminta. Bahkan, peminjaman uang itu adalah opsi terakhir yang dipilihnya. Itupun dilakukan dengan rasa malu dan tidak enak hati.
Berusaha sendiri lepas dari bayang-bayang keluarga mertuanya membuahkan hasil. Tahir kini sangat sukses, bahkan melebihi kesuksesan dan kekayaan keluarga Mochtar yang memiliki Lippo Group. Per 6 Oktober 2023, Tahir menduduki peringkat ke-7 orang terkaya di Indonesia dengan harta US$ 4,8 miliar atau sekitar Rp 75,06 triliun, jauh di atas kekayaan keluarga kakak dan adik iparnya itu.