Monday, October 2, 2023

Menolak Hengkang dari Hotel Sultan, Siapa Pontjo Sutowo?

 Pontjo Sutowo. (Dok. Detikcom/Almadinah Putri Brilian) Foto: Pontjo Sutowo. (Dok. Detikcom/Almadinah Putri Brilian)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pontjo Sutowo selaku pemilik PT Indobuildco kini berurusan dengan pemerintah terkait pengelolaan Hotel Sultan. Persoalan tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak 2006.

Persoalan berawal saat Pontjo melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pihak yang digugat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Mensetneg selaku Ketua BDN Pengelola GOR Bung Karno, Jaksa Agung, Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta, dan Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Jakarta Pusat.

Merujuk pada salinan putusan gugatan tersebut, perkara gugatan bermula saat saat Indobuildco milik Pontjo diberi tugas oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk membangun gedung konferensi yang bertaraf internasional dengan segala kelengkapannya dan hotel internasional pada 1971 lalu.

Waktu berselang, pada 3 Agustus 1972, terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 181/HGB/Da/72 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tentang Pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan Pontjo untuk jangka waktu 30 tahun.

Namun kemudian HGB tersebut dipecah menjadi dua. Pertama, Nomor 26/Gelora atas tanah seluas 57.120 meter persegi. Kedua, HGB Nomor 27/Gelora atas tanah seluas 83.666 meter persegi.

Selanjutnya pada 2002, PT Indobuildco mengklaim telah melakukan perpanjangan terhadap kedua HGB tersebut. Perusahaan Pontjo itu juga mengklaim perpanjangan kedua HGB itu untuk jangka waktu 30 tahun.

Perpanjangan tersebut diklaim telah disetujui selama 20 tahun berdasarkan surat keputusan Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta. Perpanjangan tersebut turut diklaim telah dicatat pada Buku Tanah dan sertifikat kedua HGB diatasnamakan penggugat.

Namun, ternyata ada Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Sekretariat Negara Republik Indonesia cq Badan Pengelolaan Gelanggang Olah Raga Senayan.

Siapa Pontjo Sutowo?

Mengutip berbagai sumber, Pontjo merupakan anak Ibnu Sutowo, mantan bos Pertamina yang lahir pada 17 Agustus 1950.

Pada era Orde Baru keluarga Sutowo disebut sebagai untouchable man. Ibnu Sutowo dikenal dekat dengan Presiden Soeharto. 

Cerita kawasan GBK yang kini berdiri Hotel Sultan dimulai oleh kuasa ayah Pontjo Sutowo pada era Presiden Soeharto. Berdasarkan arsip Gatra (2005), Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin mengajukan permintaan kepada Pertamina untuk membangun bertaraf internasional pada 1971. Pasalnya Ibu Kota kala itu akan mengadakan konferensi pariwisata se-Asia Pasifik dan akan dihadiri sekitar 3.000 orang. 

Permintaan kepada Pertamina karena BUMN ini sedang berada di masa kejayaan dan banyak uang. Pada 1970-an, saat dipimpin Ibnu Sutowo, Pertamina ketiban berkah dari oil boom.

Namun rupanya hotel di kawasan GBK tersebut dibangun di bawah bendera PT Indobuildco. Ali Sadikin mengatakan dia merasa tertipu, karena dia pikir Indobuildco merupakan anak perusahaan milik Pertamina. 

Indobuildco sendiri adalah milik keluarga Sutowo, tepatnya dikelola langsung oleh Pontjo. Artinya sejak 1970-an kawasan GBK dikelola oleh swasta, bukan pemerintah. 

Adapun bisnis awal Pontjo, pria yang pernah berkuliah di Institut Teknologi Bandung ini sebenarnya adalah pembuatan kapal. PT Adiguna Shipyard, berdiri pada 1970 dari modal pemberian ayahnya. Sejak 1972 Adiguna Shipyard telah menghasilkan 500 kapal dengan bobot mati terbesar 3.500 DWT (deadweight tonnage). Ini membuat harta Pontjo pada tahun 2018 sebesar US$ 265 juta.

Di sisi lain, Pontjo juga aktif berorganisasi. Dia pernah menjadi ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Ia juga menjadi Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) periode 2021-2026.

Lalu anggota Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), World Tourism Organization (WTO), ASEAN Tourism Association (ASEANTA), Pacific Asia Travel Association (PATA), dan Australia Indonesia Development Area (AIDA)

No comments:

Post a Comment