Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali lagi ke level Rp15.900/US$ terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan semakin melemah lantaran aliran keluar dari pasar keuangan Tanah Air masih deras.
Melasir data Refinitiv, mata uang Garuda hingga akhir perdagangan kemarin, Kamis (26/10/2023) ditutup di angka Rp15.915/US$, melemah 0,32% secara harian. Pelemahan tersebut melanjutkan perdagangan satu hari sebelumnya sebesar 0,13%.
Rupiah yang ambruk sejalan dengan tekanan dari indeks dolar AS (DXY) yang menguat. Hingga kemarin per pukul 15.01 WIB, DXY terpantau naik 0,21% ke posisi 106,74. Lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan satu hari sebelumnya di angka 106,52.
Aliran dana keluar dari pasar keuangan RI masih menjadi alasan rupiah yang babak belur. Terpantau pada pasar saham kemarin anjlok cukup parah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles 1,79% ke posisi 6714,51.
Secara harian per Kamis (26/7/2023) dari pasar saham sendiri mencatatkan asing net sell sebesar Rp1,39 triliun di seluruh pasar, nilai tersebut mengakumulasi aliran asing keluar selama seminggu sebesar Rp1,41 triliun.
Tak hanya itu, dari pasar obligasi untuk seri benchmark dengan tenor 10 tahun hingga akhir perdagangan kemarin mencatatkan kenaikan yield sebesar 11 basis poin (bps) ke posisi 7,2%,
Kenaikan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi yang malah semakin turun. Hal tersebut menunjukkan obligasi acuan RI sedang diobral oleh investor.
Tekanan capital outflow yang terjadi di tanah air disinyalir terjadi akibat tekanan eksternal yang meningkat sejalan dengan imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun yang melejit bahkan mencapai 5% pada awal pekan ini.
Saat ini US10 treasury berada di 4,97%. Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak Juli 2007. Kenaikan US Treasury tenor 10 tahun, yang dianggap sebagai tempat berlindung yang aman di tengah ketidakpastian perekonomian dan menjadi acuan biaya pinjaman di seluruh dunia, didorong oleh para investor yang memperkirakan pertumbuhan AS terus bertahan dalam menghadapi siklus kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve.
Tak hanya itu, rilis pertumbuhan ekonomi AS untuk kuartal III/2023 semalam menunjukkan hasil di atas ekspektasi. Melansir data yang dikeluarkan US Bureau of Economic Analysis, perekonomian AS tumbuh sebesar 4,9% secara tahunan pada kuartal ketiga tahun 2023, terbesar sejak kuartal terakhir tahun 2021 dan di atas perkiraan pasar sebesar 4,3% serta ekspansi sebesar 2,1% pada kuartal kedua, menurut perkiraan awal.
Kondisi ekonomi AS yang masih tumbuh positif menunjukkan risiko resesi semakin minim dan daya beli masyarakat masih cukup terjaga. Dengan begitu, inflasi masih potensi sulit untuk diturunkan sesuai target bank sentral negeri paman Sam, The Federal Reserve (The Fed) sebesar 2%.
Inflasi yang sulit turun masih potensi bisa memicu the Fed untuk tetap hawkish pada kebijakan moneternya sehingga dolar AS masih akan kuat di sepanjang tahun ini. Kita masih perlu mewaspadai nilai tukar rupiah yang potensi bisa berguncang lagi akibat tekanan dari dolar AS.
Teknikal Rupiah
Pergerakan rupiah dalam melawan dolar AS masih dalam tren pelemahannya, secara teknikal dalam basis waktu per jam posisi rupiah kini melemah sejalan dengan pergerakan garis rata-rata selama 20 jam dan 50 jam atau moving average 20 dan 50 (MA20 & MA50).
Dengan begitu, posisi support terdekat apabila rupiah bisa menguat bisa dicermati pada Rp15.900/US$, posisi ini berdekatan dengan MA20 sekaligus menjadi support berdasarkan level psikologis.
Kendati demikian, karena tren pelemahan yang masih kuat ada potensi rupiah juga masih bisa lanjut melemah, paling tidak ke Rp15.960/US$. Posisi tersebut diambil dari high candle 23 Oktober 2023, jika posisi tersebut ditembus potensi rupiah menguji Rp16.000/US$ kian memungkinkan.
Foto: Tradingview Pergerakan rupiah melawan dolar AS |
CNBC INDONESIA RESEARCH