Foto: Pexels
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas semakin ambruk. Pada perdagangan Kamis (25//5/2023) harga emas di pasar spot ditutup di posisi US$ 1.940,34 per troy ons. Harganya jatuh 0,85%.
Harga tersebut adalah yang terendah sejak 21 Maret 2023 atau dua bulan terakhir (US$ 1940,15 per troy ons).
Pelemahan kemarin juga memperpanjang derita emas. Dalam dua hari terakhir, harga emas melemah 1,75%.
Harga emas sedikit membaik pada hari ini. Pada perdagangan Jumat (26/5/2023) pukul 06:42 WIB, harga emas di pasar spot internasional ada di posisi US$ 1.940,96 per troy ons. Harganya menguat tipis 0,03%.
Analis OANDA, Edward Moya, menjelaskan harga emas ambruk karena mendapat dua pukulan telak dari perkembangan di Amerika Serikat (AS).
Dua pukulan tersebut adalah optimism jika krisis utang plafon AS bisa diselesaikan serta proyeksi masih hawkishnya kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
"Itu jelas dua pukulan yang menghantam emas sekaligus. Jika kesepakatan utang AS tercapai maka risiko terbesar akan hilang," tutur Moya, dikutip dari Reuters,
Emas adalah aset aman yang dicari saat ada peningkatan risiko atau ketidakpastian ekonomi. Krisis plafon utang pemerintah AS bagi ekonomi AS tentu menjadi risiko besar. Sebaliknya, bagi emas adalah berkah.
Presiden AS Joe Biden dan Ketua DPR dari Partai Republik Kevin McCarthy hampir mencapai kesepakatan untuk memotong pengeluaran dan menaikkan batas utang pemerintah dari senilai US$ 31,4 triliun, dengan sedikit waktu luang untuk mencegah risiko gagal bayar.
Menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut, kesepakatan itu akan menentukan jumlah total yang dapat dibelanjakan pemerintah untuk program diskresioner seperti perumahan dan pendidikan, tetapi tidak membaginya ke dalam kategori individu.
Menurut sumber lain, kesepakatan kedua belah pihak hanya berselisih US$ 70 miliar dengan jumlah total lebih dari US$ 1 triliun, menurut sumber lain.
Emas juga ambruk setelah risalah Federal Open Market Committee (FOMC) belum menunjukkan sinyal adanya pivot kebijakan
Dalam risalah FOMC yang keluar kemarin, pejabat The Fed masih terbelah antara yang menginginkan kenaikan suku bunga secara perlahan dan yang ngotot menaikkan suku bunga secara agresif.
Sejumlah pejabat The Fed ngotot menginginkan kenaikan karena mereka melihat inflasi masih panas.
Risalah tersebut akhirnya menghilangkan kalimat "tambahan kebijakan yang lebih tegas mungkin dibutuhkan".
The Fed lebih memilih untuk mempertimbangkan data baru untuk menentukan apakah kenaikan suku bunga akan berlanjut.
Data-data ekonomi terbaru di AS menunjukkan jika pasar tenaga kerja masih panas. Kondisi ini menandai jika inflasi masih sulit turun dengan tajam ke depan.
"Data ekonomi yang mashi impresif bisa menjadi argument dari kenaikan suku bunga ke depan," imbuh Moya.
Pasar kini bertaruh 50-50% jika The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps pada awal Juni. Pemangkasan kebijakan kemungkinan baru akan terjadi pada September 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
No comments:
Post a Comment