Friday, June 12, 2020

Melemah 2 Hari Beruntun, Rupiah Mulai Kehabisan 'Bensin'?

Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

PT BESTPROFIT FUTURES JAMBI - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah dalam dua hari perdagangan beruntun. Setelah begitu perkasa sejak awal kuartal II-2020, apakah kejayaan rupiah mulai pudar? PT BESTPROFIT

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,22%. Sehari sebelumnya, rupiah terdepresiasi 0,58%. BEST PROFIT
Lho, kan hanya dua hari? Kok sepertinya serius sekali? BESTPROFIT
Masalahnya, rupiah sudah agak terbiasa menguat. Sepanjang kuartal II-2020, baru dua kali rupiah melemah dua hari berturut-turut. Pertama adalah pada 2-3 April, dan kedua 10-11 Juni alias dua hari perdagangan terakhir. PT BESTPROFIT FUTURES
Sepertinya kuartal II-2020 memang mutlak menjadi milik rupiah. Sejak akhir Maret hingga kemarin, rupiah membukukan apresiasi 14,42% di hadapan dolar AS. Tidak ada mata uang Asia lainnya yang mampu menyamai, bahkan mendekati pun tidak. BPF
Oleh karena itu, depresiasi rupiah dalam dua hari terakhir menimbulkan pertanyaan. Apakah ada sinyal bahwa 'bensin' rupiah mulai habis? Apakah ke depan rupiah bakal melemah lagi? PT BESTPROFIT FUTURES HEAD OFFICE
Well, kalau bicara 'bensin' sebetulnya isi dalam tangki rupiah masih melimpah. 'Bensin' di sini bisa diartikan sebagai fundamental penyokong rupiah, sesuatu di dalam yang membuatnya bisa terus melaju.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa fundamental rupiah masih cukup kuat, jarum masih jauh dari huruf E. Pertama adalah transaksi berjalan (current account), neraca yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa.
Pada kuartal I-2020, neraca berjalan Indonesia memang masih defisit tetapi semakin menipis di 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi yang terendah sejak 2017.
Pada kuartal II-2020, sepertinya defisit transaksi berjalan tetap terjaga rendah. Pasalnya, impor kemungkinan masih lemah sehingga tidak terlalu menjadi beban.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pada April terkontraksi (tumbuh negatif) -18,58% secara tahunan (year-on-year/YoY). Ekspor juga terkontraksi tetapi lebih landai yaitu -7,02% YoY. Ini membuat neraca perdagangan Indonesia selama Januari-April surplus US$ 2,25 miliar.
Pada Mei, konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi -18,8% YoY sementara impor anjlok lebih dalam di -24,7% YoY. Neraca perdagangan diramal surplus US$ 560 juta.
Ini menunjukkan bahwa peluang perbaikan transaksi berjalan pada kuartal II-2020 cukup tinggi karena ada harapan surplus devisa dari ekspor-impor barang. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) berani memperkirakan defisit transaksi berjalan bisa terjaga di bawah 2% PDB untuk keseluruhan 2020.
Indikator kedua adalah inflasi. Sepanjang Januari-Mei 2020, laju inflasi domestik sangat rendah yaitu 0,9% tahun kalender (year-to-date/YtD).
Tren inflasi rendah berpeluang berlanjut pada Juni. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada pekan pertama, BI memperkirakan inflasi Juni hanya 0,04% secara bulanan (month-to-month/MtM). Jika ini terjadi, maka inflasi Januari-Juni 2020 adalah 0,94% YtD, belum menyentuh 1%.
Meski di satu sisi menunjukkan kelesuan daya beli, tetapi di sisi lain inflasi yang rendah mencerminkan kuatnya suatu mata uang. Secara riil, nilai mata uang relatif tinggi karena tidak 'termakan' oleh inflasi.
Indikator ketiga adalah cadangan devisa. Per akhir Mei, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 130,5 miliar, tertinggi sejak awal tahun ini.
Ke depan, peluang peningkatan cadangan devisa lebih lanjut masih terbuka seiring seiring derasnya pasokan valas akibat tren kebijakan moneter ultra-longgar di berbagai negara. Fitch Ratings memperkirakan nilai stimulus moneter dalam bentuk pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) oleh seluruh bank sentral dunia pada tahun ini bisa mencapai US$ 6 triliun.
Dengan prospek cadangan devisa yang cerah ini, investor boleh yakin bahwa rupiah bakal terus stabil bahkan bisa cenderung menguat. Sebab, BI akan punya 'peluru' yang cukup untuk menjaga rupiah kalau sampai terjadi apa-apa.
Berdasarkan tiga indikator tersebut, terlihat bahwa 'bensin' rupiah masih jauh dari habis. Fundamental yang semakin kuat membuat rupiah masih punya ruang untuk kembali terapresiasi. Makanya BI sering bilang bahwa level rupiah yang sekarang masih terlalu murah (undervalued) sehingga bisa menguat lagi.
Namun mengapa laju rupiah menjadi terhambat dalam dua hari terakhir? Masalahnya bukan di 'bensin', tetapi 'medan' yang dihadapi memang sedang berat. Jalannya mendaki, berkelok-kelok, berbatu pula.

Pasar keuangan global sedang dilanda kegamangan. Penyebabnya apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, per 10 Juni jumlah pasien yang positif mengidap virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini mencapai 7.145.539 orang. Dari Jumlah tersebut, 408.025 orang meninggal dunia.
Memang benar bahwa penyebaran virus corona mulai melambat. Dalam 14 hari terakhir, jumlah kasus corona di seluruh dunia bertambah 1,9% per hari. Melambat dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 1,98% per hari.
Perlambatan penyebaran virus corona membuat banyak negara telah dan akan melonggarkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Masyarakat kembali diperbolehkan beraktivitas, tetapi dengan rambu-rambu protokol kesehatan. Dunia memasuki hidup normal yang baru (new normal).
Namun seiring pelonggaran social distancing, intensitas interaksi dan kontak antar-manusia meningkat. Ini menyebabkan risiko penularan virus kembali terbuka. Datanglah kecemasan terhadap risiko gelombang serangan kedua (second wave outbreak).
"Kita kita bicara soal gelombang serangan kedua, biasanya terjadi beberapa bulan setelah serangan pertama. Itu mungkin yang akan dihadapi oleh banyak negara dalam bulan-bulan ke depan," tegas Dr Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO, seperti dikutip dari Reuters.
Kini, kekhawatiran itu tidak hanya menyelimuti para praktisi kesehatan. Pelaku pasar pun sudah merasakan hal serupa.
"Pasar sebelumnya telah menjalani reli karena melihat kita bisa melalui krisis ini situasi akan membaik. Namun ada satu hal yang bisa mengubah semuanya yaitu jika kita sampai mengalami gelombang serangan kedua. itu menjadi sebuah ketakutan yang besar," kata Sean O'Hara, Presiden Pacer ETF Distributors yang berbasis di Pennsylvania, seperti dikutip dari Reuters.

Sumber : cnbcindonesia.com

No comments:

Post a Comment