Friday, December 2, 2022

Xi Jinping Hadapi Masa "Tergelap", RI & Negara Ini Siaga Satu

 Presiden Xi Jinping dan pencapaiannya di Tiongkok di bawah kepemimpinannya di Balai Pameran Beijing di ibu kota tempat Kongres Partai ke-20 akan diadakan di Beijing, Rabu, 12 Oktober 2022. (AP/Andy Wong) Foto: Presiden Xi Jinping dan pencapaiannya di Tiongkok di bawah kepemimpinannya di Balai Pameran Beijing di ibu kota tempat Kongres Partai ke-20 akan diadakan di Beijing, Rabu, 12 Oktober 2022. (AP/Andy Wong)

PT BESTPROFIT FUTURES JAMBI China sedang mengalami masa ekonomi terkelam dalam hampir lima dekade terakhir. Survei terbaru dari Reuters yang melibatkan 40 ekonom menunjukkan perekonomian China diperkirakan tumbuh 3,2% di 2022, jauh di bawah target pemerintah 5,5%.

Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tersebut menjadi yang terendah sejak 1976. PT BESTPROFIT

BEST PROFIT

Kepala ekonom China di Nomura, Ting Lu, bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China lebih dalam lagi.

Nomura memangkas proyeksi PDB China 2022 menjadi 2,8% saja. Untuk tahun depan, PDB diperkirakan tumbuh 4%, dipangkas dari proyeksi sebelumnya 4,3%.

Memang ada kenaikan PDB di tahun depan, tetapi tetap saja rendah, apalagi jika melihat low base di tahun ini. Kemudian jika melihat sejak 1989 rata-rata PDB China sebesar 9,05%, melansir Trading Economics BESTPROFIT

PT BESTPROFIT FUTURES
BPF
­

Artinya, ini menjadi masa ekonomi "tergelap" bagi Xi Jinping yang menjabat Presiden China sejak 2013 lalu.

Sebagai negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia, pelambatan di China akan berdampak luas. China juga merupakan konsumen komoditas terbesar di dunia, alhasil ketika ekonominya melambat, permintaan berisiko menurun.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali menegaskan Indonesia harus mewaspadai hal tersebut.

"Hati-hati (ekspor) tahun depan bisa turun, karena problem di Tiongkok yang belum selesai," ujar Jokowi saat berpidato di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, Rabu (30/11/2022).

Ekspor Indonesia memang sedang moncer, neraca perdagangan mencatat surplus 30 bulan beruntun akibat tingginya harga komoditas. Ekspor ke China nilainya sepanjang Januari - Oktober sebesar US$ 51,5 miliar dan berkontribusi 22,3% dari total ekspor.

Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain yang merupakan mitra dagang utama China juga was-was.

Singapura misalnya, berdasarkan dara World Integrated Trade Solution (WITS) pangsa ekspor ke China lebih dari 13%, menjadi yang paling besar ketimbang negara lainnya. Alhasil, dengan pelambatan ekonomi China, Singapura memproyeksikan PDB 2023 akan tumbuh 0,3% - 2,5%, turun jauh dari tahun ini yang diperkirakan mencapai 3,5%.

Kemudian Malaysia, ekspor ke China mencapai 16% juga paling tinggi dibandingkan negara lainnya.

Australia bahkan lebih besar dari Indonesia. Ekspor ke China mencapai 40% dari total ekspor Negeri Kanguru. Dalam satu tahun, nilai ekspor ke China bisa mencapai US$ 100 miliar.

Permintaan komoditas yang tinggi dari China tersebut membuat ekonomi Australia moncer dan tidak pernah mengalami resesi selama 30 tahun.

Masalahnya kini ekonomi China tidak hanya melambat di tahun ini. Tetapi dalam jangka panjang, PDB-nya diperkirakan tidak lagi bisa tumbuh tinggi. Oxford Economics memprediksi pada dekade ini rata-rata PDB China sebesar 4,5% saja.

No comments:

Post a Comment