Thursday, January 25, 2024

Rupiah Ambruk Paling Parah di Asia, Ini Dia Penyebabnya!

 Petugas menhitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) Foto: Petugas menhitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis (25/1/2024). Hal ini terjadi di tengah kuatnya indeks dolar AS (DXY) serta data-data AS yang menunjukkan penguatan.

Dilansir dari Refinitiv, pukul 12.08 WIB, depresiasi mata uang Asia dipimpin oleh rupiah Indonesia yang ambruk 0,51% terhadap dolar AS secara harian. Posisi kedua ditempati oleh won Korea Selatan yang melemah sebesar 0,3%.


Namun sedikit berbeda dengan rupee India yang justru mengalami apresiasi 0,01%.

DXY tercatat mengalami apresiasi yang signifikan sejak akhir Desember 2023 dari sekitar 101,23 menjadi 103,23 atau menguat 1,97%. Alhasil, tekanan terhadap mata uang lainnya termasuk mata uang Asia terjadi.

Tidak sampai disitu, data ekonomi AS juga mengalami kenaikan baik dari sisi inflasi hingga Purchasing Managers Index (PMI).

Inflasi AS tumbuh dari 3,1% year on year/yoy pada November menjadi 3,4% yoy pada Desember 2023.

Kenaikan inflasi konsumen AS terjadi karena adanya seasonality natal 2023 dan tahun baru 2024. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

Selain itu, data PMI Manufaktur Flash yang naik lebih tinggi dari konsensus dan periode satu bulan sebelumnya, yakni dari 47,9 menjadi 50,3.

Sedangkan, PMI Composite AS pada Januari 2024 secara flash menunjukkan ada kenaikan PMI dari 50,9 menjadi 52,3 dan lebih tinggi dari perkiraan yang proyeksi turun ke posisi 50,3.

Nilai PMI manufaktur di atas 50, menunjukkan kondisi manufaktur AS di fase ekspansif.

Data PMI menjadi hal yang penting karena semakin tingginya PMI, maka aktivitas manufaktur AS akan bergerak cukup panas dan berpotensi membuat inflasi semakin sulit dikendalikan.

Sementara data ketenagakerjaan AS juga masih terbilang cukup panas bahkan di atas ekspektasi pasar.

Biro Ketenagakerjaan AS melaporkan penurunan klaim awal tunjangan pengangguran sebanyak 16.000 menjadi 187.000 untuk pekan yang berakhir 13 Januari 2024.

Klaim pengangguran AS menandai posisi terendah sejak September 2022, meleset jauh dari perkiraan yang proyeksi naik ke 207.000, menurut penghimpun data Trading Economics.

Sementara data pekerjaan di luar pertanian atau Non-Farm Payroll (NFP) pun tercatat naik ke 216.000 pada Desember 2023. Nilai tersebut diluar perkiraan yang proyeksi turun ke 170.000, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 173.000 pekerjaan.

Hal ini semakin membuat membuat ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga bank sentral AS (The Fed) dipangkas tahun ini lebih lambat dari perkiraan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

No comments:

Post a Comment