Wednesday, May 3, 2023

Kisah Nadiem & Tukang Ojek: Dulu Disayang, Kini 'Ditendang'

 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Foto: Dok: Kemendikbudristek

Jakarta, CNBC Indonesia - Nadiem Anwar Makarim adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang punya keistimewaan berlapis. Dia punya dua kombinasi sempurna untuk melangkah ke depan.

Pertama, dia lahir dari keluarga terpandang yang membuatnya cukup "berada". Bapaknya, Nono Anwar Makarim, adalah pengacara ternama Indonesia. Berbagai kasus hukum di tingkat nasional dan internasional sukses ditanganinya.

Barangkali tanpa aspek kedua ini semua langkahnya akan sia-sia. Ya, dia punya otak cerdas. 

Dalam kurun 2002 sampai 2006, Nadiem menimba studi di Amerika Serikat. Dia menyelasaikan kuliah sarjana di Brown University lalu lanjut lagi kuliah pascasarjana di Harvard Business School. Setelah rangkaian kuliahnya selesai, dia pulang kampung dan langsung bekerja di firma konsultasi global, McKinsey selama tiga tahun hingga 2009.

Kedatangannya di Indonesia inilah menjadi titik balik perjalanan karir Nadiem. Kepada almamaternya Harvard Business School, Nadiem cerita kalau dia sebal dan kesal dengan situasi jalanan Jakarta. Kemacetan membuat mobilitas Nadiem, dan juga jutaan orang lain, sangat terhambat. Dia rugi waktu dan uang.

Meski perusahaan tempatnya bekerja menyediakan mobil dan supir, tetap saja dia ogah memanfaatkannya karena alasan tersebut. Alhasil, dia memilih tukang ojek, yang berdiam diri di bawah pohon, sebagai sahabat perjalanannya sehari-hari untuk menembus kemacetan Jakarta.  

Namun, di sisi lain dia merasa heran melihat tukang ojek yang mangkal di pangkalan.

"Tujuh puluh lima persen waktu kerja mereka hanya berdiam diri, sangat tidak efisien," kata Nadiem dalam acara New City Summit Jakarta 2015 lalu.

Alhasil, dia punya ide cemerlang: layanan call center untuk memanggil tukang ojek. Jadi, tukang ojek tidak lagi hanya bengong, ngobrol, dan ngopi sembari menunggu penumpang. Mereka harus 'jemput bola' berdasarkan order pengguna.

Layanan itu kemudian diwujudkan dalam perusahaan rintisan (startup) bernama Go-Jek pada 12 Oktober 2010. Nadiem tak sendiri mendirikan ini. Ada Kevin Aluwi dan Michaelangelo Moran yang ikut serta.

Awalnya, Go-Jek hanya memiliki 20 mitra pengemudi. Pemasarannya pun dari mulut ke mulut, dan tersebar di teman dan saudara Nadiem. Namun, setahun kemudian Nadiem mulai meniru layanan serupa asal AS, yakni Uber. Go-Jek pun mulai mengembangkan aplikasi dan inilah awal perjalanannya.

"Hampir dalam semalam, Go-Jek merombak citra ojek rendahan. Jika sebelumnya dipandang sangat tidak aman, kini tidak lagi demikian. Go-Jek membawa tukang ojek menjadi sangat profesional," tulis Jeffrey Hutton di Harvard Business School.

Beruntung bagi Nadiem karena saat mendirikan Go-Jek dibantu oleh kebangkitan perusahaan rintisan, perkembangan pesat internet, dan bobroknya aturan kendaraan bermotor di Indonesia. 

Tahun 2015 adalah titik balik bagi Go-Jek dan Nadiem. Sebab, di tahun itu perusahannya dapat investasi besar dan mulai mengembangkan tiga layanan utama, yakni GoRide, GoSend, dan GoMart, hingga menarik minat publik.

Masyarakat ramai-ramai menggunakan Go-Jek. Begitu pula tukang ojek pangkalan yang beralih menjadi mitra Go-Jek karena dinilai mampu mendongkrak penghasilan.

Litbang Kompas sendiri pernah menyebut bahwa pada 2014 pendapatan mitra Go-Jek mencapai Rp 10,94 juta. Tentu bagi tukang ojek ini hal menggiurkan. 

Namun, sekarang situasi berbeda. Nadiem kini tak lagi memegang komando di Go-Jek usai dilantik jadi Mendikbud pada 2019. Sedangkan mitra pengemudi pun hidup sulit. 

Dalam pemberitaan CNBC Indonesia beberapa waktu lalu dikabarkan pengemudi Ojol secara umum diprediksi akan menurun drastis. Penyebabnya karena munculnya kebijakan potongan yang membuat penghasilan mereka menyusut. Akibatnya membuat Indonesia mengalami krisis Ojol.

No comments:

Post a Comment