Wednesday, August 21, 2024

Dolar AS Sudah Rp 15.400, Apa Bisa Sentuh Level Rp 14.000?

 

Uang dolar AS dan Rupiah. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Uang dolar AS dan Rupiah. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah telah bergerak di kisaran atas Rp 15.400/US$ per hari ini, Rabu (21/8/2024) setelah beberapa bulan terakhir betah di level Rp 16.000-an. Penguatan ini membuat mata uang Garuda semakin dekat dengan asumsi kurs dalam APBN 2024 di level Rp 15.000/US$.

Penguatan rupiah kali ini cukup signifikan. Hanya dalam sembilan hari, rupiah mampu mengalahkan dolar AS. Rupiah bergerak di level Rp 16.100/US$ sejak 7 Agustus 2024, berdasarkan catatan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia. Lalu, lompat ke level Rp 15.480/US$ pada 20 Agustus 2024.

Dengan penguatan yang terus terjadi sejak sembilan hari terakhir ini, apakah rupiah bisa terus menguat dan menembus level Rp 14.000?

Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang mengatakan, level Rp 14.000/US$ merupakan level yang terlalu dalam jika terjadi dalam waktu dekat. Implikasinya bisa menekankan ekspor, karena harga di pasar global menjadi tidak kompetitif.

"Kalau ke level 14.000 ini masih cukup struggle kita lihat ini sudah bottoming banget paska penguatan Rupiah yang signifikan," kata Hosianna kepada CNBC Indonesia, Rabu (21/8/2024).


"Karena kalau Rupiah kita terlalu menguat signifikan ini enggak kompetitif buat ekspor. Jadi kita lihat yang level ini sudah cukup solid," tegasnya.

Senada dengan Hosianna, Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga melihat range pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih akan berada di kisaran Rp 15.500/US$, di tengah derasnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia.

Dipicu oleh kuatnya sentimen pelaku pasar keuangan terhadap kemungkinan terjadinya penurunan suku bunga acuan global, khususnya suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed pada tahun ini sebesar 125 basis points (bps) dari saat ini di kisaran 5,25%-5,5%.

"Jadi semuanya tergantung kebijakan moneter global ya terutama dari the Fed, karena ini akan pengaruhi aliran masuk dana asing ke pasar keuangan Indonesia, maupun juga dana asing ke foreign direct investment Indonesia," tegasnya.


Myrdal pun menekankan, perkembangan rupiah saat ini sejalan dengan ekspektasi yang begitu kuat dari investor terkait denfan kemungkinan the Fed yang menurunkan suku bunganya secara agresif 50 bps pada bulan depan, atau tepatnya September.

Sentimen itu memicu inflow terutama di pasar obligasi. Hasil lelang surat utang negara atau SUN pun ia ingatkan sudah sangat kuat perimtaannya, tercermin dari incoming bids atau penawaran lelang Surat Utang Negara (SUN) per 20 Agustus 2024 yang mencapai Rp 104,07 triliun.

"Demandnya begitu kuat dengan total incoming bids atau minat lebih dari Rp 100 trili7n dan kita lihat juga flow di pasar SUN juga begitu kuat, jadi wajar rupiah kita mengalami apresiasi yang sangat signifikan," tutur Myrdal.

Ke depannya, ia menilai perkembangan rupiah akan bergantung pada kebijakan moneter dari global, yang sangat memengaruhi aliran pasokan dolar atau modal terutama di pasar keuangan emerging market seperti Indonesia.


Bila the Fed menurunkan suku bunga sesuai ekspektasi pelaku pasar sekitar 125 bps, tentu kurs rupiah ia anggap bisa mengalami penguatan tajam. Tapi kalau the Fed hanya menurunkan suku bunga satu kali sekitar 25 bps rupiah masih akan bergerak di level yang tidak sekuat sekarang.

"Tapi kalau the Fed turunkan suku bunga 25 bps setiap bulan, yaitu pada bulan September, lalu November, dan Desember yang totalnya jadi 75 bps tahun ini ada kemungkinan rupiah bisa ada di kisaran Rp 15.500," ucap Myrdal.


(Arrijal Rachman/haa)

No comments:

Post a Comment