Monday, August 5, 2024

Ketakutan Jokowi di Akhir Jabatan Makin Nyata, Bankir Teriak Gini

 

Aktifitas suasana pegawai Bank BTPN di kantor pusat Menara BTPN,  Jakarta, Rabu (31/1/2018). PT Bank Tabungan Pensiun Tbk (BTPN) dan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) akan segera merger. Dampak dari merger ini tidak akan merubah komposisi pemegang saham.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Perbankan nasional saat ini memusatkan perhatiannya pada likuiditas. Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BTN) Nixon Napitupulu mengatakan, bahwa likuiditas tersedia, namun mahal akibat dampak dari suku bunga tinggi yang diperkirakan bertahan lama.

"Likuiditas aman, likuiditas no issue. Cuma masalah kan harganya. Jadi kalau tanya 'Likuiditas ketat nggak?' Definisi ketat itu kan pesannya nggak ada. Likuiditas ada, tapi harganya naik. Itu yang terjadi Jadi lo beli pakaian, pakaian ada nggak? Ada, tapi harganya naik," kata Nixon di Perumahan Pesona Kahuripan 9, Kabupaten Bogor, Rabu (31/7/2024) lalu.

Sementara itu, Direktur Keuangan dan Strategi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Sigit Prastowo mengatakan likuiditas tetap menjadi concern utama bank pelat merah itu untuk semester II-2024. Ia mendasari itu dari rasio pinjaman terhadap simpanan bank BUMN yang mengalami tren kenaikan.

Ia melanjutkan, permintaan kredit pun cukup tinggi. Namun, itu tidak diimbangi dengan pertumbuhan simpanan atau dana pihak ketiga yang tinggi.

"Terus kedua, di sisi pertumbuhan atau demand kreditnya cukup tinggi. Jadi memang secara umum, kalau secara industri pertumbuhan kreditnya itu lebih tinggi dari pertumbuhan fundingnya. Loan kan secara nasional tumbuhnya kira-kira 11-12%, fundingnya tumbuhnya 7-8%. Otomatis ini akan dorong kenaikan LDR secara keseluruhan. Sehingga bisa dibilang liquidity ini tetap akan menjadi concern," ujar Sigit di Mandiri Corporate University, Selasa (30/7/2024) lalu.

Namun, dia mengatakan memiliki harapan sebab pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) telah membaik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat DPK tumbuh 0,27% mtm atau meningkat 8,45% yoy menjadi Rp8.722 triliun per Juni 2024. Akan tetapi, itu menurun tipis dari setahun sebelumnya, yakni 8,63% yoy pada Juni 2023.

Sigit mengatakan hal itu menandakan adanya perbaikan likuiditas secara umum. Ia juga berharap, suku bunga acuan global Federal Reserve dapat segera dipangkas, sehingga Bank Indonesia (BI) juga dapat mengikuti.

"Itu harapannya likuiditas makin baik. Harapan," ujarnya.


Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia mengerek naik suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur April 2024, dan masih menahannya hingga saat ini.

Bank Cari Sumber Dana Alternatif

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut pertumbuhan simpanan bank yang melambat itu utamanya pada deposito, yang juga dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana.

Sementara itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat laju pertumbuhan dana non-DPK kembali naik, setelah pada pertengahan tahun lalu melambat. Per Februari 2024, alternatif pendanaan perbankan ini tumbuh 5,38% yoy.

Pertumbuhan dana non-DPK secara tahunan terutama dikontribusi oleh kenaikan pada pinjaman/pembiayaan diterima sebesar Rp 25,29 triliun dan kewajiban bank lain sebesar Rp 11,88 triliun.

"Perkembangan ini sejalan dengan strategi bank dalam melakukan diversifikasi sumber likuiditas. Akses sumber pendanaan non-DPK menjadi salah satu sumber pemenuhan funding gap di tengah pertumbuhan DPK yang lebih rendah dibandingkan kredit," mengutip Indikator Pasar Keuangan Maret 2024.

Pada bulan kedua tahun ini, DPK perbankan tumbuh 7,4% yoy, sedangkan kredit naik 12,4% yoy.

Direktur Distribution and Institutional Funding BTN Jasmin mengatakan banyaknya pilihan instrumen investasi lainnya turut mempengaruhi likuiditas. Seperti SBN, SRBI yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), yang menawarkan yield lebih tinggi dibanding deposito perbankan.

"Bahkan rate SRBI lebih tinggi dari SBN, sehingga ada pergeseran investasi asing dari SBN ke SRBI," kata Jasmin saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (16/7/2024).

Senada, bankir Taswin Zakaria mengatakan likuiditas ketat karena adanya tekanan daya beli serta tren penempatan dana di luar deposito perbankan. Mantan Presiden Direktur Maybank Indonesia itu menyebut kenaikan harga-harga barang dari pelemahan Rupiah berdampak terhadap daya beli konsumen.

Ketakutan Jokowi di Akhir Masa Jabatan

Jauh sebelumnya pada akhir 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengutarakan kekhawatirannya terhadap peredaran uang yang makin kering, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sekitar 5%. 

Jokowi menilai masalah tersebut muncul karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen, yakni Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).

"Jangan semuanya ramai membeli yang tadi saya sampaikan ke BI maupun SBN meski boleh-boleh saja tapi agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun yang lalu," ujar Jokowi di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta.

No comments:

Post a Comment